|
Sesi permainan papan dilangsungkan di Goethe Institut Bandung pada Sabtu (14/7) untuk memperkenalkan beragamnya jenis permainan ini di pasaran kepada masyarakat. Permainan papan merupakan medium rekreasi yang tidak mengenal usia yang mendorong para pemain untuk berinteraksi lebih dekat dibandingkan dengan permainan jenis lainnya. Hanya saja, keberadaannya masih kurang populer karena kurangnya pemahaman dari masyarakat. |
Menikmati ketegangan tidak selamanya harus membutuhkan televisi layar datar, gambar definisi tinggi, suara yang menggelegar, atau bahkan sambungan listrik.
Yang dibutuhkan hanya sebidang meja dan permainan papan atau ”board game” di atasnya. Dari sana, dunia lain tengah menyambut para pemain.
Sang pemandu permainan, Andre Musli Dubari, membagikan kartu peran kepada sembilan orang yang duduk di meja yang sama.
Dia menerangkan permainan papan berjudul ”The Resistance” yang mengisahkan gerakan pemberontak yang berencana menggulingkan sebuah kerajaan dengan cara menyabotase beberapa markas kunci.
Sayangnya, pihak kerajaan sempat menyusupkan mata-mata ke kelompok itu dengan tujuan menggagalkan upaya mereka.
Sepuluh kartu dibagikan kepada pemain yang duduk menghadap meja, termasuk dia sendiri. Sebanyak enam orang menjadi anggota gerakan perlawanan dan empat orang menjadi mata-mata.
Tidak satu pun yang mengetahui peran apa yang diambil pemain lainnya. Kemudian, Andre meminta semua pemain menutup matanya. Kebetulan, saya mendapatkan kartu peran berwarna biru yang berarti anggota gerakan perlawanan.
”Bagi yang menerima peran sebagai mata-mata, silakan membuka matanya,” kata Andre, sementara mata enam pemain lainnya tetap terpejam.
Begitu semua pemain membuka mata, yang pertama kali dirasakan adalah tegang dan bingung. Saya harus curiga dengan sembilan orang yang berbagi meja. Pasalnya, ada empat mata-mata yang berupaya menggagalkan misi gerakan perlawanan.
Permainan dilakukan dengan sistem voting. Pemimpin misi membagikan kartu misi kepada sebagian pemain dan mereka akan memberikan voting apakah misi tersebut berjalan sukses atau gagal. Sekali ada suara gagal, berarti mata-mata berhasil menjalankan tugasnya. Permainan berakhir jika kelompok perlawanan berhasil menjalankan tiga misi atau mata-mata berhasil menggagalkan tiga misi.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menang sebagai kelompok perlawanan dalam permainan ini adalah mengandalkan kemampuan deduksi, melihat suara yang diberikan oleh pemain yang sedang menjalankan misi. Dari sana bisa terlihat siapa anggota yang berkhianat. Sebaliknya, agar berhasil mata-mata harus mampu mengelabui pemain agar bisa terpilih sebagai anggota misi dan bisa tiga kali menggagalkan upaya kelompok perlawanan.
Sepanjang permainan sulit membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Semua berupaya mencari mata-mata dan sebagian lagi mengecoh dengan mengarahkan kecurigaan kepada pemain lain. Saat permainan berakhir, kelompok perlawanan harus kalah karena ternyata mata-mata sukses menggagalkan tiga misi. Kartu peran pun dibuka pada akhir permainan dan sang pemandu ternyata adalah satu di antara mata-mata.
Semuanya tertawa, tanpa melihat siapa yang menang ataupun kalah. Ada yang mengulas jalannya permainan, ada pula yang mengenai upaya pemain yang belakangan diketahui sebagai mata-mata berhasil menepis kecurigaan pemain lain. Dalam 30 menit, tiba-tiba 10 orang yang duduk satu meja tertawa bersama bagai sahabat akrab.
Manfaat
Begitu permainan rampung, Andre menjelaskan bahwa permainan ini mengajak pemainnya mampu berpikir deduktif untuk mencari mata-mata agar misi tidak digagalkan. Yang lebih menantang lagi, para pemain harus berpikir jernih, sementara mata-mata yang menyaru di antara mereka berupaya mengalihkan kecurigaan kepada pemain lain.
Padahal, ajakan berpikir kreatif itu baru datang dari satu judul permainan papan saja, sementara di luar sana terdapat ratusan judul permainan papan dengan berbagai sistem permainan, peraturan, dan variasi. Sebut saja, Thurn and Taxis yang berlatar belakang sejarah perusahaan pos pertama di dunia yang menempatkan pemain membangun jaringan pos di Jerman. Dimainkan oleh empat orang dan dibutuhkan strategi untuk bisa keluar sebagai pemenang.
Bagi warga Jerman, bermain board game adalah bagian dari hidup mereka. Itu diutarakan oleh Deputy Director Goethe Institut Bandung Angela Jeannette. Bermain permainan papan adalah kebiasaan yang mustahil terlewat begitu dia kembali berkumpul dengan keluarga jika dia pulang ke negaranya. Jeannette ingat, ayahnya langsung mengajak bermain permainan papan begitu mereka berkumpul.
”Bermain board game mengasah kemampuan berinteraksi sosial dan bagaimana memperlakukan orang lain dengan penuh hormat. Tentu saja, yang paling utama tetap bersenang-senang tanpa memandang batasan umur,” ujar Jeannette yang mengaku bermain sejak dia kecil.
Membandingkan permainan papan dengan permainan elektronik, semisal video game, Jeannette berpendapat, permainan papan memiliki keistimewaan merekatkan para pemain untuk berinteraksi secara langsung. Tawa berderai dan wajah gembira adalah pemandangan yang lazim ditemukan. Video game dengan fitur pemain jamak (multiplayer) pun belum mampu menyamai tingkat interaksi sosial semacam ini.
Itulah yang sedang diupayakan oleh Segitiga.Net, sebuah media yang khusus membahas mengenai permainan papan. Secara perlahan, mereka ingin memopulerkan permainan papan di Indonesia. Menurut Editor in Chief Segitiga.Net Adieb Aryasepta Haryadi, salah satu persepsi yang hendak diubah adalah bahwa permainan papan itu bukan cuma monopoli, ular tangga, atau catur. Ada ratusan judul permainan papan yang bisa mengajak pemainnya melatih otak dan bisa dimainkan tanpa memandang usia.
Salah satu kebiasaan yang ingin diperkenalkan Adieb adalah malam bermain atau spielabend dalam bahasa Jerman. Dalam waktu yang disepakati bersama, biasanya malam hari, disempatkan barang 1-2 jam untuk bermain board game. Kebiasaan itu masih dilakukan hingga kini dan relatif bertahan meski video game sudah ada di setiap ruang tamu keluarga.
Salah satu yang sedang mereka upayakan adalah menggelar sesi bermain rutin. Salah satunya di Goethe Institut yang diharapkan rutin di masa mendatang. Beberapa inisiasi di tempat lain juga sudah dilakukan, seperti di Institut Teknologi Bandung.
Medium
Eko Nugroho adalah salah seorang penggemar permainan papan sehingga dia juga mendirikan Kummara, sebuah perkumpulan yang bertujuan untuk memopulerkan sekaligus memproduksi permainan papan sendiri. Kummara adalah akronim dari berkumpul, bermain, dan bergembira.
Baginya, pesan-pesan bisa disampaikan melalui setiap komponen dalam permainan papan berbentuk tema, konten, dan ilustrasi. Komponen permainan papan terdiri dari papan, kartu, token, dan sistem permainan.
Itulah yang melatarbelakangi Kummara untuk membuat permainan papan sendiri. Mulai dari Simpang Dago untuk memperkenalkan kekayaan kuliner lokal di Kota Bandung, sejarah perjuangan Indonesia melalui Mahardika, hingga kisah pewayangan melalui Punakawan.
Kekayaan budaya di Indonesia jangan sampai terlambat dimanfaatkan untuk dikemas dalam permainan papan. Eko menunjukkan beberapa judul board game buatan luar negeri yang memiliki tema dari Indonesia dengan judul Java, Bali, Batavia ataupun Expedition Sumatera.
Karena digarap luar negeri, konten Indonesia hanya menjadi pelengkap untuk sistem permainan yang sudah dibuat sebelumnya. Padahal, medium serupa bisa dipakai untuk memperkenalkan budaya asli Indonesia, obyek wisata unggulan, dan program kerja seperti dilakukan Dharma Wanita pada 1980-an.
Itulah belantara luas di dalam sebidang permainan papan. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)