Saat masalah kantor menumpuk di pundak kita atau saat sedang marahan
dengan suami, apakah kita jadi lebih sering mengunyah makanan? Mulai
dari keripik kentang, roti, atau bahkan cokelat? Atau setiap pukul
16.00, kita pasti harus mengunyah crackers atau permen?
Dari dua skenario tersebut mana yang sering kita lakukan? Jangan malu untuk menjawab karena ternyata banyak orang yang melakukan salah satu di antaranya atau bahkan kedua-duanya. Karena ternyata banyak orang yang sangat tergila-gila dengan karbohidrat. Mulai dari keripik, kue-kue kering, es krim, sampai permen. Dan ternyata makanan-makanan ini lebih menggugah selera saat emosi kita tengah naik-turun, seperti marah, depresi, atau merasa kelelahan.
Dari dua skenario tersebut mana yang sering kita lakukan? Jangan malu untuk menjawab karena ternyata banyak orang yang melakukan salah satu di antaranya atau bahkan kedua-duanya. Karena ternyata banyak orang yang sangat tergila-gila dengan karbohidrat. Mulai dari keripik, kue-kue kering, es krim, sampai permen. Dan ternyata makanan-makanan ini lebih menggugah selera saat emosi kita tengah naik-turun, seperti marah, depresi, atau merasa kelelahan.
“Merindukan karbohidrat, adalah bagian dari rutinitas harian kita,” ucap Judith Wurtman, PhD, salah satu penulis The Serotonin Power Diet.
Bersama suaminya, Richard J. Wurtman, Judith telah lama tertarik menelisik keterkaitan antara karbohidrat dengan kondisi emosional kita seperti marah atau sedih. Pasangan Wurtman ini kemudian menerbitkan hasil penelitiannya dalam Scientific American.
Dalam penelitiannya disimpulkan, nafsu kita untuk mengonsumsi karbohidrat lebih banyak memang berkaitan dengan penurunan hormon serotonin. Ini adalah hormon yang mengendalikan rasa nyaman dalam diri kita, maka tidak heran ketika kadarnya berkurang yang kita rasakan adalah kesedihan dan tidak bergairah.
Tapi Edward Abramson, PhD, psikolog dan profesor emeritus dari California State University, dalam bukunya Emotional Eating, tak sependapat. “Depresi atau emosional yang merosot muncul karena faktor eksternal, tidak semata-mata karena berkurangnya hormon serotonin. “
Belum lagi, Abramson menambahkan, kebiasaan kita untuk mengonsumsi lebih banyak karbohidrat adalah disebabkan oleh faktor kebiasaan. Dan melengkapi pernyataan Abramson, Evelyn Tribole, RD, ahli nutrisi dari Newport Beach yang juga menulis buku Healthy Homestyle Cooking, keinginan kita untuk mengunyah lebih banyak karbohidrat akan berkurang secara alamiah saat makanan kita kaya akan protein.
Tapi untuk mengurangi ketertarikan kita pada karbohidrat, mengingat kemampuannya untuk melebarkan lingkar pinggang tidak perlu dipertanyakan lagi, kita dapat melakukan trik-trik berikukt ini :
* Buat jadwal makan yang sesuai dengan nafsu makan kita. Keinginan kita untuk mengonsumsi karbohidrat biasanya kan muncul di pertengahan hari, para ahli sepakat akan hal ini. Itu mengapa jangan pernah melewatkan sarapan, agar saat makan siang tubuh tidak merasa kekurangan tenaga. Plus saat makan siang jangan lupa untuk memasukkan lebih banyak protein dan serat. Sehingga signal tubuh untuk karbohidrat bisa ditahan lebih lama.
* Pilihlah karbohidrat yang sehat. Wurtman menyarankan, agar kita memilih crackers yang rendah lemak. Ini akan memenuhi kebutuhan karbohidrat kita tapi tidak menambah tumpukan lemak di perut.
Bersama suaminya, Richard J. Wurtman, Judith telah lama tertarik menelisik keterkaitan antara karbohidrat dengan kondisi emosional kita seperti marah atau sedih. Pasangan Wurtman ini kemudian menerbitkan hasil penelitiannya dalam Scientific American.
Dalam penelitiannya disimpulkan, nafsu kita untuk mengonsumsi karbohidrat lebih banyak memang berkaitan dengan penurunan hormon serotonin. Ini adalah hormon yang mengendalikan rasa nyaman dalam diri kita, maka tidak heran ketika kadarnya berkurang yang kita rasakan adalah kesedihan dan tidak bergairah.
Tapi Edward Abramson, PhD, psikolog dan profesor emeritus dari California State University, dalam bukunya Emotional Eating, tak sependapat. “Depresi atau emosional yang merosot muncul karena faktor eksternal, tidak semata-mata karena berkurangnya hormon serotonin. “
Belum lagi, Abramson menambahkan, kebiasaan kita untuk mengonsumsi lebih banyak karbohidrat adalah disebabkan oleh faktor kebiasaan. Dan melengkapi pernyataan Abramson, Evelyn Tribole, RD, ahli nutrisi dari Newport Beach yang juga menulis buku Healthy Homestyle Cooking, keinginan kita untuk mengunyah lebih banyak karbohidrat akan berkurang secara alamiah saat makanan kita kaya akan protein.
Tapi untuk mengurangi ketertarikan kita pada karbohidrat, mengingat kemampuannya untuk melebarkan lingkar pinggang tidak perlu dipertanyakan lagi, kita dapat melakukan trik-trik berikukt ini :
* Buat jadwal makan yang sesuai dengan nafsu makan kita. Keinginan kita untuk mengonsumsi karbohidrat biasanya kan muncul di pertengahan hari, para ahli sepakat akan hal ini. Itu mengapa jangan pernah melewatkan sarapan, agar saat makan siang tubuh tidak merasa kekurangan tenaga. Plus saat makan siang jangan lupa untuk memasukkan lebih banyak protein dan serat. Sehingga signal tubuh untuk karbohidrat bisa ditahan lebih lama.
* Pilihlah karbohidrat yang sehat. Wurtman menyarankan, agar kita memilih crackers yang rendah lemak. Ini akan memenuhi kebutuhan karbohidrat kita tapi tidak menambah tumpukan lemak di perut.