![]()  | 
Karyawan yang sudah banyak makan asam garam juga butuh untuk diisi dengan berbagai ilmu yang aplikatif.  | 
Salah satu indikator organisasi “sehat” adalah semangat belajar yang  ada di dalam tim dan individu. Kita semua sadar bahwa bukan cuma  individu yang fresh yang perlu dibekali dengan berbagai  pengetahuan untuk bisa menjalankan perannya di organisasi. Karyawan yang  sudah banyak makan asam garam juga butuh untuk “diisi” dengan berbagai  ilmu yang aplikatif, terutama mengingat mereka yang senior ini memberi  banyak pengaruh dalam tim dan perusahaan.
Meski sadar pentingnya  belajar, tetap saja tidak sedikit kita temui orang yang skeptis dan  mengatakan bahwa program belajar semata pemborosan dan buang-buang uang  saja. Komentar ini memang tidak boleh kita anggap angin lalu. Betapa  sering kita mendengar keluhan mengenai dana pelatihan yang tidak  berbanding lurus dengan peningkatan ketrampilan para karyawan. Betapa  sering kita mendiskusikan mutu para eksekutif tidak berubah dan  kematangan pribadi tidak bertambah, meskipun masa kerjanya sudah panjang  dalam organisasi.
Apanya yang salah? Materinya yang tidak sesuai  kebutuhan? Belajarnya tidak pakai “hati”? Cara belajarnya yang keliru?  Ataukah kita sering tidak menyadari bahwa ada berbagai pilihan metode  belajar untuk mengasah ketrampilan tertentu?
Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya tidak bisa mencopot earphone bila sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak "konsen". “Mana mungkin pelajaran masuk?” demikian kata ibunya. Padahal, menurut dia, itulah cara paling efektif baginya untuk belajar.
Belajar memang bukan proses yang mudah. Teman saya tidak bisa mencopot earphone bila sedang belajar dan menghafal. Ibunya sering kesal melihatnya dan mempersalahkannya mendapat angka jelek karena tidak "konsen". “Mana mungkin pelajaran masuk?” demikian kata ibunya. Padahal, menurut dia, itulah cara paling efektif baginya untuk belajar.
Ada orang yang  dipaksa duduk membaca dan membaca tetapi tidak ada satupun materi bacaan  yang menempel di benaknya. Lain lagi ceritera generasi M atau Z yang   mendapatkan pengetahuan secepat kilat hanya dengan menggeser-geser  jarinya di layar iPad, tanpa merasa perlu untuk mendalami suatu subyek  dan memastikan pemahaman yang benar. Kita pun sering tidak mengerti,  dari mana seseorang mempelajari hal baru, istilah baru, atau pengetahuan  baru dengan lancar, tanpa kita menyadari kapan dan bagaimana ia  belajar.
Apapun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar adalah pengetahuannya saja. Namun tentu yang lebih kita harapkan adalah karyawan bisa lebih trampil dan bisa mempraktekkannya dalam kondisi riil sehari-hari. Kita baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan "teori" sebagai hasil pengalamannya.
Apapun bentuknya, program pelatihan atau pengajaran bertujuan agar proses belajar individu terjadi. Terkadang memang yang disasar adalah pengetahuannya saja. Namun tentu yang lebih kita harapkan adalah karyawan bisa lebih trampil dan bisa mempraktekkannya dalam kondisi riil sehari-hari. Kita baru bisa mengatakan proses belajar berhasil bila individu kemudian bisa mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan dan "teori" sebagai hasil pengalamannya.
Belajar  baru bisa dibilang sukses bila cara pikir dan cara bertindak individu  bisa berubah dan ilmu barunya diaplikasikan secara riil. Ini jelas tidak  mudah, apalagi mengingat individu sudah mempunyai pengetahuan dan  ketrampilan yang melekat dalam dirinya, dan belum tentu berminat untuk  mendapatkan ketrampilan baru. Namun, kita tidak mungkin mundur ke  belakang, bukan? Belajar adalah tanggung jawab kita semua.
Proses belajar
Guru sejarah di SD saya, selalu membawa alat peraga pada saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja, dan tertarik pada benda-benda atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses belajar, karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi baru.
Proses belajar
Guru sejarah di SD saya, selalu membawa alat peraga pada saat mengajar. Sekarang kita baru mengerti mengapa alat peraganya demikian manjur. Anak murid langsung mengerubungi meja, dan tertarik pada benda-benda atau gambar-gambar tersebut. Ketertarikan adalah syarat utama dalam proses belajar, karena ketertarikanlah yang membuka pikiran seseorang untuk menerima informasi baru.
Kita jelas akan mendapat manfaat yang  jauh lebih besar  apabila pengetahuan baru dibarengi dengan imajinasi,  emosi, motivasi, dan "insight" yang mendalam tentang subyeknya.  Repotnya, informasi baru ini, kemudian akan berhadapan dengan informasi  lama, yang sudah bercokol di benak individu dewasa. Ada kemudian yang  berkomentar: ”Biasanya tidak begini...”, atau, ”Saya dari lahir sudah  begini...”. Inilah tantangan proses pengajaran, di mana  informasi baru  tersebut bukan sekadar “masuk" tetapi diolah, bahkan perlu menjadi  pengetahuan dan pemahaman baru bagi si individu.
Klas Mellander dalam bukunya Power of Learning mengatakan: "If people are given the opportunity to discover things for themselves and to draw their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace the opportunity to make change happen." Pemahaman bisnis, kemampuan meng-handle manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko, hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman how it feels dan how it works. Pengalaman inilah yang kemudian tumbuh menjadi knowledge-base-nya. Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekadar di otaknya, tetapi juga di hati dan nerves-nya.
Babak selanjutnya: penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar: “Training bagus, komitmen sudah dikumandangkan, namun ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di tempat kerja”. Di sini, rasanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein: "The only source of knowledge is experience”.
Klas Mellander dalam bukunya Power of Learning mengatakan: "If people are given the opportunity to discover things for themselves and to draw their own conclusions, then there is a great likelihood that they will embrace the opportunity to make change happen." Pemahaman bisnis, kemampuan meng-handle manusia, apalagi krisis dan pengambilan resiko, hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pelatihan hanya mempan bila kita memberi individu pengalaman how it feels dan how it works. Pengalaman inilah yang kemudian tumbuh menjadi knowledge-base-nya. Individu perlu merasakan hal-hal yang kritis bukan sekadar di otaknya, tetapi juga di hati dan nerves-nya.
Babak selanjutnya: penerapan
Bukan sekali dua kali kita mendengar komentar: “Training bagus, komitmen sudah dikumandangkan, namun ketrampilan baru ternyata tidak mudah diterapkan di tempat kerja”. Di sini, rasanya bermanfaat untuk menelaah ungkapan Einstein: "The only source of knowledge is experience”.
Saat  kita belajar bersepeda saat kanak-kanak dulu, kita tentu ingat benar  bahwa kita perlu mengendarainya untuk tahu cara bersepeda. Seperti  simulasi menerbangkan pesawat, situasi tidak merupakan fenomena tunggal,  namun stimulus datang bertubi-tubi.
Dalam kehidupan sehari hari, kita juga mengalami hal yang sama. Krisis dalam perusahaan, penumpukan stok, tercekiknya cashflow, tuntutan growth  dalam  penjualan dan laba  datang sekaligus, tidak bisa dipecahkan  dalam sistim "urut kacang". Individu yang sedang belajar, perlu menata  kesemuanya ini sebagai mental projections dan insights  yang sistematis. Bila hal ini sempat terjadi dalam proses simulasi,  maka proses belajar akan berdampak pada reaksi-reaksi individu di  kemudian hari. Ia sudah tahu bagamana cara mengelak. Ia punya pengalaman  mengenai bagaimana, mengapa, dan kapan  harus “tancap gas”, bahkan  sudah merasakan konsekuensinya, bila ternyata ia salah bereaksi.
Hal yang kritikal untuk kesuksesan belajar tentunya juga adalah dukungan dalam bentuk proses coaching  oleh atasan, serta kesempatan untuk mempraktekkannya dalam situasi  riil. Hanya dengan proses yang utuh seperti ini, kita bisa yakin terjadi  proses belajar dalam diri individu.


Post a Comment