Bekerja di luar negeri dengan rekan lintas bangsa memberikan pengalaman berbeda dengan lingkungan yang tak sama. |
Merantau dan bekerja di negeri orang membutuhkan kegigihan dan semangat tinggi agar bisa bertahan dan sukses menjalani karier apa pun. kalau memutuskan mengadu nasib di luar negeri, bekal penting yang harus Anda miliki adalah ketekunan dan kreativitas. Kalau rajin dan kreatif, meski Anda tak punya banyak bekal ilmu atau titel tertentu, Anda bisa bertahan dan menjadi perantau yang sukses.
"Meski tak punya kepintaran, tapi punya banyak akal mencari uang, bisa kok hidup di luar negeri. Kalau malas kerja di luar negeri, nggak akan bisa maju," ungkap Lydia van Noord, perempuan kelahiran Malang yang menetap dan bekerja di Belanda, kepada Kompas Female saat berlibur di Jakarta.
Ketekunan ini juga harus lebih ekstra dimiliki jika memutuskan berwirausaha di negeri orang. Pasalnya, tenaga kerja yang mahal membuat pemilik bisnis harus terjun langsung mengelola usahanya. Lydia memaparkan, di Belanda misalnya, mengurus perizinan usaha juga tidak mudah, apalagi jika ingin menjual bahan makanan khas Indonesia misalnya. Kualitas sangat diperhatikan. Jadi kalau tidak bisa menjamin bahan makanan, misal bumbu masakan, tersebut berkualitas dan persediaan terkelola dengan baik, sebaiknya tidak coba-coba mencari peruntungan di bidang ini.
Berbagai tantangan dalam bekerja atau berbisnis di negeri orang ini perlu dibarengi dengan sikap tekun dan gigih. Jika tidak, iklim bekerja atau berbisnis yang berbeda dengan di Indonesia, membuat seseorang sulit bertahan atau bertahan tapi hanya berjalan di tempat, selama berada di perantauan.
"Untuk yang punya usaha sendiri harus kerja sendiri, dan yang saya perhatikan waktunya 24 jam untuk bisnis, karena tenaga kerja mahal. Hampir tidak ada waktu untuk pribadi. Mereka juga sulit cuti lama, dan kalau pun ingin cuti liburan, suami istri misalnya harus bergantian. Liburan keluarga tidak bisa dilakukan bersama. Karena kalau toko tutup lama, pelanggan bisa kecewa. Pekerja rumah tangga juga jarang, jadi semua hal harus dikerjakan sendiri," jelasnya.
Sebagai orang kelahiran Indonesia, yang pindah negara sejak 1974 mengikuti orangtua, Lydia memahami kondisi yang dialami perantau termasuk ekspatriat dari Indonesia, di negaranya. Namun ia yakin, siapa pun bisa mengadu nasib di luar negeri, dan sukses, asalkan gigih dan menjauhkan diri dari sifat malas.
Kalau Anda berminat berkarier atau membangun bisnis di luar negeri, pengalaman Lydia yang juga didapatinya dari teman dan keluarganya di Belanda serta beberapa negara lain di Eropa, bisa menjadi pertimbangan sekaligus motivasi. Kreativitas dan ketekunan tak kalah penting dari bekal lain yang Anda bawa dari Indonesia untuk bekerja di negeri orang.
Bagaimana dengan pengalaman Anda, yang pernah atau sedang mengadu nasib di negeri orang?
"Meski tak punya kepintaran, tapi punya banyak akal mencari uang, bisa kok hidup di luar negeri. Kalau malas kerja di luar negeri, nggak akan bisa maju," ungkap Lydia van Noord, perempuan kelahiran Malang yang menetap dan bekerja di Belanda, kepada Kompas Female saat berlibur di Jakarta.
Ketekunan ini juga harus lebih ekstra dimiliki jika memutuskan berwirausaha di negeri orang. Pasalnya, tenaga kerja yang mahal membuat pemilik bisnis harus terjun langsung mengelola usahanya. Lydia memaparkan, di Belanda misalnya, mengurus perizinan usaha juga tidak mudah, apalagi jika ingin menjual bahan makanan khas Indonesia misalnya. Kualitas sangat diperhatikan. Jadi kalau tidak bisa menjamin bahan makanan, misal bumbu masakan, tersebut berkualitas dan persediaan terkelola dengan baik, sebaiknya tidak coba-coba mencari peruntungan di bidang ini.
Berbagai tantangan dalam bekerja atau berbisnis di negeri orang ini perlu dibarengi dengan sikap tekun dan gigih. Jika tidak, iklim bekerja atau berbisnis yang berbeda dengan di Indonesia, membuat seseorang sulit bertahan atau bertahan tapi hanya berjalan di tempat, selama berada di perantauan.
"Untuk yang punya usaha sendiri harus kerja sendiri, dan yang saya perhatikan waktunya 24 jam untuk bisnis, karena tenaga kerja mahal. Hampir tidak ada waktu untuk pribadi. Mereka juga sulit cuti lama, dan kalau pun ingin cuti liburan, suami istri misalnya harus bergantian. Liburan keluarga tidak bisa dilakukan bersama. Karena kalau toko tutup lama, pelanggan bisa kecewa. Pekerja rumah tangga juga jarang, jadi semua hal harus dikerjakan sendiri," jelasnya.
Sebagai orang kelahiran Indonesia, yang pindah negara sejak 1974 mengikuti orangtua, Lydia memahami kondisi yang dialami perantau termasuk ekspatriat dari Indonesia, di negaranya. Namun ia yakin, siapa pun bisa mengadu nasib di luar negeri, dan sukses, asalkan gigih dan menjauhkan diri dari sifat malas.
Kalau Anda berminat berkarier atau membangun bisnis di luar negeri, pengalaman Lydia yang juga didapatinya dari teman dan keluarganya di Belanda serta beberapa negara lain di Eropa, bisa menjadi pertimbangan sekaligus motivasi. Kreativitas dan ketekunan tak kalah penting dari bekal lain yang Anda bawa dari Indonesia untuk bekerja di negeri orang.
Bagaimana dengan pengalaman Anda, yang pernah atau sedang mengadu nasib di negeri orang?
Post a Comment