Dunia Kembar Rini dan Rina

Lahir bersamaan dari telur yang berbeda, Rini dan Rina saling melengkapi dan saling mengisi sepanjang hidupnya.

Sebagai model, Rini Suri dan Rina Suri sudah lama malang melintang di panggung mode. Di mana ada Rini di situ ada Rina. Keduanya saling melengkapi.

Di dekat keduanya, Anda menjadi ”tamu” karena Rini dan Rina seperti memiliki dunianya sendiri yang hanya mereka berdua yang mengerti. Kadang, keduanya membicarakan sesuatu dengan berbisik dan kemudian tertawa terkekeh. Kadang keduanya bertatapan penuh arti.

Lahir bersamaan dari telur yang berbeda, sepasang perempuan cantik ini saling melengkapi dan saling mengisi sepanjang hidupnya. Tidak berlebihan untuk mengatakan, kebahagiaan yang satu ditentukan kehadiran yang lainnya.

Keduanya sudah pernah mencoba berpisah. Ketika Rini meninggalkan tanah kelahiran mereka, Padang, untuk merintis kariernya di bidang modeling di Jakarta pada tahun 2001, sementara Rina tetap melanjutkan kuliahnya di Padang. Namun, hari-hari mereka selama empat tahun perpisahan itu penuh dengan air mata.

”Wah kami berdua nangisnya habis-habisan setiap kali Rini mau kembali ke Jakarta. Benar-benar nelangsa. Kami pelukan seperti enggak mau pisah,” kata Rina.

Maklum, dari TK sampai SMA mereka selalu bersama. Dan mereka punya kebiasaan unik, yaitu mengobrol dan saling curhat, yang kadang tak kenal waktu. ”Apa pun kami bicarakan. Sampai yang enggak penting sekalipun. Kami enggak bisa tahan berdiam lama-lama. Kalau pas marahan paling hanya tahan 10 menit. Kami langsung ngobrol lagi dan lupa sama pertengkaran sebelumnya,” kata Rina.

Ketika berpisah, kebiasaan mengobrol itu dipindahkan ke kertas surat. Hampir setiap waktu mereka berkirim surat yang panjangnya berlembar-lembar. Ceritanya remeh-temeh. Apa pun yang dilihat Rini selalu mengingatkannya kepada Rina, demikian pula sebaliknya. ”Baru kalau urusan sudah gawat, kami interlokal. Biasanya curhat urusan cowok,” kata Rina.

Ketika Rini sudah mapan berkarier di dunia modeling, Rina tuntas kuliahnya. Ia pun menyusul kakaknya ke Jakarta karena diterima bekerja di sebuah bank nasional (Rini dianggap kakak karena Rina lahir empat menit lebih dulu. Yang lebih lama di rahim ibu dianggap lebih ”tua”). Namun, setiap kali menyaksikan kakaknya melenggang dengan anggun di atas catwalk, hati Rina berdebar keras. Ia merasakan hasrat serupa.

”Diam-diam tanpa sepengetahuan Rini, saya mengirimkan foto kepada agen model. Dan diterima. Rini sempat melarang karena dia merasa sayang saya sudah punya karier di bank. Dia juga khawatir apakah saya sanggup bertahan di dunia model yang keras. Saya sendiri takut memberi tahu orangtua. Jadi, selama enam bulan menjadi model saya berbohong, seolah-olah masih kerja di bank,” ujar Rina.

Rini menimpali bahwa setelah enam bulan melihat adiknya menjadi model, ia yakin Rina memang serius. ”Akhirnya, saya mendukung sepenuhnya,” kata Rini yang pembawaannya lebih tenang dan serius dibandingkan dengan sang adik yang lebih ramai.

Keras
Keduanya cepat memperoleh tempat di dunia modeling. Rini pernah menjadi finalis Elite Model Look se-Indonesia, sementara Rina pernah menjadi juara II Model Indonesia. Dalam setahun, jadwal mereka tampil di atas catwalk sudah padat. Di bulan-bulan sibuk, misalnya, mereka hanya ”kosong” empat hari dalam sebulan.

Namun, semua itu tidak dicapai dengan mudah. Kakak beradik ini harus menghadapi kerasnya persaingan di dunia mode sekaligus kehidupan yang kerap artifisial, tanpa kehadiran orangtua. Suka dan duka mereka bagi berdua. Mereka saling menjadi cermin untuk mengingatkan agar tidak salah langkah.

”Saya ini orang daerah. Di sana kami bersaudara dengan siapa pun. Semua orang ramah-ramah dan baik hati. Tapi, di Jakarta saya kadang berhadapan dengan orang-orang yang merasa dirinya paling hebat dan paling benar. Awalnya, saya enggak kuat, tapi Rini terus memberi semangat saya,” kata Rina.

Rini yang sudah lebih dulu tergembleng dalam manis-pahit dunia mode punya kiat yang ampuh bagi adiknya. ”Kalau kamu tidak mampu survive, kamu akan tergusur seperti teman-teman yang lain. Tapi, kalau kamu survive, berarti kamu akan menjadi pribadi yang tahan banting,” kata Rini.

Di sinilah kedekatan keduanya terjalin lebih intens. Dengan berada bersama, mereka merasa bisa menghadapi apa pun, termasuk ketika harus menghadiri acara-acara yang sebetulnya tidak mereka sukai. ”Kami masih bisa tetap tersenyum di mana pun. Daripada bergosip atau mendengarkan gosip, kami memilih ngobrol berdua saja,” katanya.

Mereka juga saling mengingatkan dalam mengelola uang. Penghasilan seorang model memang cukup menggiurkan. Rumah, mobil, barang bermerek, semua dalam jangkauan. Namun, keduanya sadar panjang karier seorang model ada batasnya. Wajah baru akan muncul setiap waktu.

Rina yang mengaku senang berbelanja berupaya menyisihkan 30 persen penghasilannya untuk tabungan. ”Dulu saya doyan belanja, apalagi kalau melihat jadwal pekerjaan yang masih penuh sampai berbulan-bulan ke depan. Tapi, sekarang saya lebih memilih belanja produk yang tahan lama sehingga bisa menabung,” katanya.

Rini mengaku lebih irit. ”Saya juga lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Jadi hidup saya lebih irit meskipun saya harus membayar semua pengeluaran sendiri, dari bayar sewa rumah sampai makan sehari-hari,” kata Rini.

Transisi
Rini mengakhiri masa lajang pada 2008 dan saat ini memasuki usia kehamilan tiga bulan. Ia harus bersiap-siap mengurangi kesibukan, mengikuti selera makan yang terus bertambah, dan beradaptasi dengan bentuk badan yang semakin membesar.

”Saya masih kaget-kaget melihat badan yang terus melar. Selama ini, saya dituntut menjaga bentuk badan, makan pun harus diatur,” kata Rini.

Bagi Rina yang masih lajang, pernikahan dan kehamilan kakaknya adalah hal baru yang membutuhkan penyesuaian. ”Ketika kakak menikah dulu, saya sedih. Saya berpikir apakah kami masih bisa bersama-sama seperti dulu? Sekarang ketika Rini hamil, saya juga bertanya-tanya apakah saya nanti bisa menganggap anaknya seperti anak sendiri?”

Untunglah suami Rini penuh pengertian. Mereka masih sering jalan bersama. Bahkan, Rina juga sering menginap di rumah kakaknya. Jika tak ada aral melintang, Rina akan menikah tahun depan. ”Saya membayangkan kami membesarkan anak bersama-sama,” kata Rina sambil tertawa.

Mereka juga sudah memikirkan masa depan untuk membangun bisnis bersama. Untuk itu, mereka sudah menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Jika Rini adalah penggagas, Rina adalah eksekutor. Jika Rini lebih memilih urusan kreatif, Rina adalah pembuka jaringan, temannya ada di mana-mana. Rini sangat hati-hati dalam membuat keputusan, enggan mengambil risiko. Rina? ”Saya ini suka bisnis, darah saya darah orang Padang, kurang apa lagi?” kata Rina bersemangat.

Pigura ayah
Sebagai anak kedua-ketiga dari enam bersaudara yang semuanya perempuan, Rina dan Rini dididik dengan ketat oleh kedua orangtuanya, khususnya oleh sang ayah. Mereka, misalnya, diminta tidak keluar rumah selepas maghrib. Pergi dan pulang sekolah pun sebisa mungkin diantar-jemput sang ayah.

”Ayah kami keras, jangankan datang, cowok yang berani menelepon ke rumah saja pasti akan kapok,” kata Rina.

Sejak kecil, Rini dan Rina sudah menyukai berlenggak-lenggok di panggung, menjadi model di tingkat sekolah sampai daerah. Namun, keduanya tak berani memberi tahu kegiatan itu kepada sang ayah.

Sampai suatu saat, sang ayah secara tidak sengaja melihat isi lemari anaknya. Di situ disimpan sejumlah piala hasil kemenangan Rini dan Rina pada sejumlah acara peragaan.

”Akhirnya, Papa mengizinkan kami untuk mengikuti perlombaan Uni dan Uda, perlombaan yang mirip Abang-None di Jakarta,” ujar Rini.

Ketika Rini memperoleh beasiswa modeling ke Jakarta, sang ayah sangat berat melepasnya. ”Papa baru bisa lega setelah saya bisa membuktikan bahwa saya berhasil berkarier di bidang ini,” katanya.

Kapankah itu? Ketika wajah Rini sudah banyak menghiasi halaman mode di sejumlah majalah.

”Suatu saat ketika saya pulang ke Padang, saya melihat foto saya yang ada di sebuah majalah dikasih pigura sama Papa. Papa tidak pernah bilang apa-apa. Enggak muji juga. Tapi, saya tahu Papa gembira dengan keberhasilan saya,” kata Rini.





Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : created by | Barangit.COM | design tercela
Copyright © 2011. TERCELA - All Rights Reserved
Template di otak atik by tercela Published by design otak atik tercela
Proudly powered by Blogger