Mengelola Karyawan sebagai Partner

Atasan sebenarnya bukan sekadar mengelola kinerja karyawan, tetapi juga mengelola intangible asset perusahaan.
Dalam sebuah diskusi seru untuk merumuskan profil ideal seorang pimpinan cabang, mengemuka isu betapa para pimpinan unit kerja yang dinilai kurang berhasil terasa sekali kurang memiliki greget dalam pengembangan individu dalam timnya. Sibuknya kegiatan operasional menjadi alasan para atasan tidak “menyentuh” anak buahnya. Hubungan atasan-bawahan terasa berjarak, unit kerja pun seolah berat untuk “bergerak”. Padahal tuntutan produktivitas dan kebutuhan ekspansi mengharapkan kita untuk “lari”, bukan jalan di tempat.
Kita bisa melihat betapa isu produktivitas saat ini tidak sekadar pada pemenuhan jumlah sumber daya manusia dan pemenuhan kompetensinya, namun lebih pada motivasinya, hatinya, dan engagement-nya. Banyak atasan mengeluhkan alotnya mengembangkan anak buah. Banyak yang menyalahkan “generation gap”, seolah "anak sekarang" tidak punya kemampuan mendengar, tidak tahu sopan santun, dan “tidak seperti kita-kita dulu”.
Hal yang lebih telak adalah menyalahkan divisi sumber daya manusia, yang dinilai salah seleksi, "kurang training", ataupun tidak jeli dalam memainkan paket remunerasi.

Di sisi lain, karyawan pun sering merasa tidak berkembang. Betapa sering karyawan merasa bahwa perusahaan hanya bersikap sebagai "debt collector", yaitu menagih produktivitas, tanpa memikirkan karier yang ditempuh karyawan. Lama-kelamaan, isu perkembangan karier individu akhirnya menjadi “bola panas”, dan ujungnya berdampak pada perkembangan bisnis perusahaan juga. Jadi, siapa yang bertanggung jawab terhadap pengembangan karier individu di perusahaan? Atasan, divisi sumber daya manusia, atau orangnya sendiri?

It takes two to tango
Tidak bisa dielakkan, bahwa di tempat kerja, setiap orang selalu mempunyai atasan. Bila kita analogikan dengan lantai dansa, maka atasan adalah partner kita dalam berdansa. Bersama-sama, pasangan dansa ini bisa berhasil ataupun gagal. Atasan jelas dituntut untuk memainkan peran sebagai pembimbing, sementara bawahan diharapkan untuk mem-follow.
Seperti halnya di lantai dansa, ada atasan yang tak pandai membimbing, memberi kode, memperbaiki, dan mencari peluang. Namun, ada atasan yang bisa membuat dansa pasangan menjadi mulus dan menarik. Lalu, bagaimana dengan peran, perasaan, dan nasib bawahan yang dibimbing?
Dalam “Tango”, tarian asal Argentina yang sering dianggap paling sulit, dikatakan bahwa pertama-tama pasangan dansa haruslah "wired", berhubungan secara hati ke hati secara unik dan harus saling mengerti. Sekali waktu pasangan Tango terlihat menarik ulur, lain waktu menyentak, namun selalu menjaga bonding yang kuat. Meski berpasangan, gerak dan manuvernya bersikap individual. Hal yang bertaut hanyalah perasaan satu sama lain. Perasaan yang perlu dikembangkan adalah rasa percaya yang kuat dan keinginan untuk melengkapi pasangan kita.

Seperti halnya dalam Tango, di tempat kerja pun atasan maupun bawahan, perlu berkinerja utuh, seoptimal dan seekspresif mungkin, tanpa ketergantungan. Namun, ia sekaligus sadar bahwa ia tidak sendirian. Sebagaimana kodrat kemanusiaan kita, kita memang ditakdirkan untuk berpasangan, di mana masing-masing harus memahami perannya, perlu sama-sama aktif berprestasi, sambil tidak alpa memikirkan partner kita.
Kita juga perlu selalu ingat bahwa setiap individu mempunyai gaya kerja, ketrampilan, kebutuhan, dan talentanya sendiri. Dalam berpasangan, kita pun perlu sadar bahwa masing-masing memegang kumpulan nilai, keseimbangan, dan kebutuhannya. Penghayatan yang kuat terhadap individualisme pasangan kita adalah kekuatan Tango.

Peran sponsor: bekerja dalam agenda orang lain
Mengelola manusia atau "bekerja melalui kinerja orang lain" bisa dipandang sebagai pekerjaan yang sulit bila kita tidak mengimplementasikan prinsip Tango tadi. Hal yang juga perlu diingat oleh para atasan adalah bahwa ia sebenarnya bukan sekadar mengelola kinerja, tetapi juga mengelola intangible asset perusahaan.
Ketrampilan dan talenta yang ada di dalam pribadi individu perlu “ditarik” dan dikelola sehingga dapat menjadi proses dan aset perusahaan. Ini hanya bisa terjadi kalau para pengelola manusia menyadari bahwa chemistry lah yang perlu diupayakan. Kita bisa merekrut orang pintar. Kita pun bisa mengirim karyawan ke tempat pelatihan yang hebat. Namun di tempat kerja, kita perlu berpikir keras agar karyawan mampu mengambil peran dalam orkestra perusahaan dan merasakan happiness dalam berkontribusi.

Dalam menjalankan peran sebagai atasan, akan sangat baik bila kita mengambil posisi sebagai sponsor bawahan. Individu adalah pelaku dan pengambil risiko dalam pelaksanaan proyeknya. Sementara, kita menguasai business case-nya, dan bertanggung jawab terhadap ketuntasan dan profitibilitas pekerjaan. Kita sebagai atasan lah yang tidak boleh kehilangan “sense of rhythm”-nya, dan menjaga agar semua yang ikut serta dalam “orkestra” berada dalam irama yang tepat dan memainkan perannya secara all out.
Agar efektif, seseorang yang berperan sebagai sponsor perlu senantiasa menjaga kredibilitas yang tinggi, menunjukkan manajemen pribadi yang disiplin, dan selalu pengupayakan dua prinsip: governance dan support penuh. Peran sponsor inipun perlu diadaptasi oleh divisi sumber daya manusia di perusahaan.


(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)





Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : created by | Barangit.COM | design tercela
Copyright © 2011. TERCELA - All Rights Reserved
Template di otak atik by tercela Published by design otak atik tercela
Proudly powered by Blogger